Pages

(Sekedar) Catatan Perjalanan

Ketika menulis cerita ini. Entah kenapa kesulitan sangat terasa ketika saya hendak memulainya. Mulai dari mana? Mulai dengan apa? Hee maklum!! mungkin ini salah satu efek kalo udah lama gak nulis. Serasa kaku tak berdaya, padahal saya hanya mau nulis cerita sederhana. Bukan cerita ribet mirip ceritanya Nazaruddin di TV. (itu kasus udah selesai belum sih?) he Baiklah mengalir saja yah. Ini sedikit rangkaian cerita mudik saya kemarin yeaah. *agak gak penting hee

 “Horeee. Alhamdulillah akhirnya mudik juga.”

Begitulah bisik bahagia luap suara hati ketika saya sampai di terminal 1B Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Bersama belasan teman lainnya, akhirnya kami memutuskan mudik lebaran tahun ini bareng-bareng melalui jalur udara. Ya namanya bareng-bareng tentu rasa kebersamaanlah yang menjadi poin utama dari perjalanan kami kali ini terlebih kita beruntung, tiket pesawat relatif murah jika dibandingkan tiket bus mudik yang mengalami kenaikan cukup wahhh menjelang lebaran ini.

Dari kost sampe bandara kita berangkat bersama, serulah. Maen-maen, ngobrol,  becandaan dan lain-lain *saking banyaknya. Dan tebak saya kondisi pesawat bakal rame karena guyonan kita-kita, itu sih kalo gak ganggu radar penerbangan, he. Perjalanan yang menyenangkan pikir saya. Tapi sayang, entahlah mungkin ini yang dinamakan kuasa Tuhan, he *(lebay) pas check in ternyata saya dapat tempat duduk yang terpisah jauh dengan teman-teman yang lain. Senyum-senyum sendiri liat no kursi yang nyeleneh itu *yah nasib bakal kehilangan momen seru bersama teman-teman -__- 


Setelah menaiki tangga pesawat dengan gaya agak melow *maklum waktu itu udah agak malam plus sepoi-sepoinya kenceng banget, akhirnya saya dapati kursi no 36F, udah agak belakang tepat di tepi jendela, berjajar dengan kursi no 36D dan 36E. Di 36D sudah ada yang duduk seorang bapak-bapak dengan style anggota TNI ber-head set tergantung manis di telinganya. Saya berikan senyum terbaik saya saat itu tanda mohon izin melewatinya menuju kursi tempat saya duduk. Setelah agak lama, kursi 36E (antara kursi saya dan kursi bapak tadi) masih aja kosong. Saya terus berbaik sangka mungkin sang penumpang sedikit terlambat. Kedatangannya akan agak didramatisir beberapa detik menjelang pesawat take-off lah, kayak di film-film. Karena saya yakin penumpang di 36E ini adalah seorang gadis shalihah, cantik, pinter, kaya, ramah, rajin, baik hati, suka menolong *terus apa lagi yah? (Intinya istimewahlah) yang kemudian berkenalan dengan saya, akrab, bla bla bla, kami menikah, dan hidup bahagia selamanya *gubraakkk, hahaha . Tapi itu cuma mimpi, yah mimpi, pesawat pun terbang meninggalkan Jakarta dan terbang meninggalkan hayalan tak bermutu ala saya. Yah kursi 36E tetap kosong, *krik krik krik.

Dari kejauhan sayup-sayup suara temen-temen yang lain bercanda bersama. Ih bikin iri saja. Saya harus ngobrol sama siapa? Lalu saya lirik bapak yang tadi *berharap bisa membuka pembicaraan lumayan 55 menit Jakarta-Palembang. Ternyata sang Bapak sepertinya sedang istirahat dan sangat menikmati musik lewat head set-nya. *gagal deh. Saya terus berpikir keras mau dijadiin apa perjalanan ini masak bengong-bengong aja mana hape harus dimatiin segala, mati gaya, bisa kemasukan jin lama-lama, hahaha. Akhirnya dengan sebuah keberanian yang lebih, pesawat itu pun saya obrak abrik dan saya temukan sebuah majalah berjudul “Lionmag”. Tidak ada benda lain selain majalah itu, padahal saya berharap ada PES atau sejenis game lainlah yang seru, haha. 

Berlagak mirip ekskutif muda, saya pun mulai membuka satu persatu halaman majalah tersebut. Dan tibalah saya sampai pada halaman 16, sebuah artikel ringan yang cukup berkesan bagi saya. Ditulis oleh Jemy V. Confido dengan judul “Memilih Gerbang Kebahagiaan”. Beuhh lihat judulnya saja saya langsung tertarik *maklum saat itu kebahagian perjalanan saya hampir tersita dan saya berhak mengambil kembali kebahagiaan itu. hee

Di awal tulisan (bentar si Jemy itu nama cewek atau nama cowok sih?hee) kita sepakati cowok aja yah, biar enak manggilnya Mas Jemy *emang orang Jawa, hee) oke lanjut!!! di awal tulisan Mas Jemy memaparkan bahwa kebahagiaan bukan suatu pengertian yang baku, satu, saklek bahwa seperti ini loh bahagia itu. tidak. Mas Jemy menyampaikan bahwa bahagia adalah sebuah pengertian yang fleksibel di mana setiap orang memiliki pengertian sendiri apa itu bahagia. Simpel dia tuliskan bahwa bahagia itu tergantung perspektif. Sipp dan saya sepakat itu. Kemudian Mas Jemy memberikan juga perspektif-perspektif kebanyakan orang di dunia ini tentang bahagia, mulai dari terpenuhnya harta, tercapainya karir, terwujudnya mimpi, dan sebagainyalah. Lumayan membuka perspektif saya tentang makna bahagia itu sendiri. Dan di akhir tulisannya ia tutup dengan sebuah kisah dimana ada seorang yang dengan segala keterbatasannya berjuang memilih gerbang kebahagiaan hidupnya, yah karena kebahagiaan tidak hanya dinilai dari apa yang kita punya tapi bagai mana hati kita memaknai kepunyaan kita itu. Blesss saya pun mendadak semangat, haa, berkoar membara hendak memilih gerbang kebahagiaan saya di pesawat ini. Pilih dipilih dipilih *berlagak ala sales. Tidur? Gak asyiklah. Liat pemandangan luar? Ya ampun langitnya hitam semua. Saya tarik nafas dalam-dalam, saya masukkan kembali majalah tadi ke tempatnya, saya lirik jam tangan saya, huh masih 30 menit lagi. Tiba-tiba saya keinget target tilawah romadhon saya yang sangat jauh dari sukses. *tring, kenapa gak tilawah aja yah? Lumayan kan sekalian kejar target. he

Keren, bertilawah di ketinggian di atas 20.000 kaki di atas permukaan laut di tengah gelap malam. Pasti sangat seru, yah mungkin ini gerbang kebahagian saya. Oke saya tilawah. Kebetulan mushaf ada di tas kecil yang saat itu saya jinjing. Huruf demi huruf terlewati, ayat demi ayat teresapi, setiap bacaan yang terlantunkan begitu berkesan, apalagi ketika pesawat mengalami turbulensi, kepasrahan diri kepada Tuhan begitu terasa. Hee. Saya pun sesekali melirik ke arah luar jendela, langit gelap seperti menjadi saksi kedamaian saya membaca surat cinta dari Tuhan saya. Ada sensasi baru, seru, sekaligus haru. 

Tidak terasa bau-baunya pempek sudah begitu terasa, haa ga ding bercanda, masak di pesawat ada bau pempek, hee ternyata pesawat udah tiba di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II yah berakhir sudah perjalanan saya, lumayan setengah juz untuk malam indah itu. Perjalanan yang penuh kejutan yang membuat saya yakin bahwa gerbang kebahagiaan ada di mana saja, tingal pilih dan  jalani, insyaallah apa pun kondisinya ketika kita dekat dengan Tuhan kita akan bahagia. *ending yang sama sekali g nyambung, hahaha



5 komentar:

  1. ninggalin jejak...

    ciyeeeeee yang mau di wisuda... :))

    BalasHapus
  2. Whoah keren, tilawah versi supermen kali yak?
    (supermen soleh)

    smoga kisah di kampungnya lebih menarik..
    *kayaknya udah balik lg, telat..

    BalasHapus
  3. mantab masbero..
    ikut meninggalkan jejak yak/

    BalasHapus
  4. masbro mbak sis thanks komennya, udah lama gak ngeblog ni, jadi telat (banggettt) komennya,,hee *ampuuunn

    BalasHapus

Komentar di sini yah,