Pages

Terima Kasih Pak Copet

Setengah jam sebelum azan maghrib, akhirnya aku tiba di terminal Lebak Bulus. Suatu perjalanan yang panjang. Hebat. Depok-Lebak Bulus nyaris menyita waktu dua jam. Tapi begitulah jakarta, tak bisa dielak lagi. Macet adalah teman akrab kami, termasuk aku para korban semerawutnya transportasi ibu kota.

Kuselusupi keramaian terminal, tak peduli siapa dan apa yang terjadi di sekitarku. Yang aku rasa saat itu hanya satu, aku lelah.

Angkot merah bertuliskan Bintaro bernomor S08 kudapati tepat di depan pintu keluar terminal. Masih kosong, ahh masuk saja lah paling ''ngetem'' sebentar pikirku. Aku duduk di pojok sebelah kanan angkot sambil kuselonjorkan kakiku yang mulai terasa sakit. Satu persatu penumpang lain pun masuk. Tiga orang ibu-ibu yang disusul satu orang pemuda seumuranku duduk berhadapan denganku, sebut saja dia Doni (aku lupa berkenalan). Tiba-tiba suasana hati ku sedikit berubah, semacam firasat ada yang tidak beres di angkot ini. Bukan karena Doni, tapi perasaan itu ada ketika seorang bapak paruh baya dengan baju rapi membawa tas masuk ke dalam angkot. Bukan mau suudzhon tapi ya emang mukanya itu loh mencurigakan. Bom kah?? Ha


Selang beberapa waktu masuk lagi seorang laki-laki dengan style yang sama, duduk tepat di sebelah ku. Berkemeja rapi, rambut tertata dan membawa tas berwarna hitam. Sama menjurigakan.

Angkot pun merangkak berjalan. Penumpang pun sudah nyaris penuh. ''ini jam berapa ya dek?'' suara bapak disebelahku mengejutkan. ''sekitar jam 6 pak bentar lagi maghrib kok'' jawabku pelan. ''iya, tepatnya jam berapa? lihat jamnya di handphone donk, ada hape kan?'' tambah sang bapak. Aku diam sambil menggelengkan kepala. Entah apa maksud komunikasi itu, tapi setidaknya bapak itu tak lagi bertanya kepadaku yang sedang duduk terkujur lesu. semakin bertambah kecurigaanku. Kok nanya hape segala. Ni copet jangan-jangan.

Seketika angkot berhenti, seorang bapak masuk lagi. Kali ini dengan penampilan yang berbeda sederhana dengan kaos oblong seadaanya. Ketika itu pun segera ku raih beberapa barang berharga di saku celanaku, hape dan beberapa lembar uang. Jelas tanpa ada yang tau. Segera ku masukkan ke dalam tas yang sejak tadi kupeluk. aku tak suka menaruh dompet di saku celanaku. Aku merasa tak nyaman. Jadi jelas di celanaku tak ada lagi barang-barang berharga. Kumasukkan sebagai tindakan preventif aja, barangkali kecurigaanku benar, gak lucu kalo sampe anak kostan kayak aku kecopetan. Mau makan apa?? he

Sejurus kemudian angkot pun gaduh. Dua orang bapak berpakaian rapi itu sok sibuk, bak pramugara mengatur posisi duduk penumpang, alasannya simpel biar penumpang sama-sama nyaman. Aneh, kok pake marah-marah sih, seperti ada konspirasi di sini. Aku pun berusaha tenang. Refleks mulai komat-kamit berisi sedikit hapalan doa, cuma itu yang bisa kulakukan. Jujur aku males buat perkara. Tubuhku lemah sekali, masak harus berantem dengan kondisi seperti ini.

Akhirnya cek-cok dalam angkot pun meraih kesimpulan panas. Posisi duduk baru ditentukan. Di sebelah kiri angkot dari belakang ke depan ada tiga orang ibu-ibu diikuti seorang bapak berkaos oblong di dekat pintu. Di seberangnya dari belakang ada aku, seorang bapak, kemudian Doni, bapak lagi, dan ada ibu-ibu dibelakang sopir. Sebenarnya tak banyak yg berubah. Aku pun tetap posisi awalku hanya Doni saja yang seolah diapit oleh dua orang bapak mencurigakan.

Langit semakin gelap, sayup-sayup suara ngaji dari masjid terus terdengar, lampu-lampu kendaraan pun sesekali menyilaukan mata. Angkot melewati perempatan underpas depan asrama polwan Ciputat. Bapak dengan kaos oblong pun tiba-tiba membagikan selebaran kecil berwarna hijau seperti leaflet acara kampus. Iklan pijat refleksi ternyata. Kemudian setelah semua mendapat leaflet, bapak pun mulai mempraktekan pijatannya. Mirip sales marketing yang sedang menjual produknya di mall. Doni duduk tepat berhadapan dengan sang bapak akhirnya dia pun menjadi customer pertama yang dipijat sore itu. Gratis dan pijatan pun dimulai. Aku hanya bisa melihat di tengah kegelapan angkot maghrib itu. Ternyata dan ternyata ketika pijatan itu berlangsung, dua orang bapak berpakaian rapi diantara Doni merogohkan tangannya ke saku celana Doni yang sedang larut dalam pijatan. Betul. Copet ternyata.

Tak lama, akhirnya satu persatu ketiga bapak itu turun di kawasan Gintung, namun di tempat yang berbeda-beda. Terlihat sekali mereka ingin mengaburkan bahwa mereka tak saling kenal. Padahal sudah jelas sekali mereka berkomplot. Untung saja operasi pencopetan bermoduskan pijatan itu gagal. Doni pun mengaku tak ada yang kehilangan, karena semua barang-barangnya diletakkan nya di tas bukan di saku celana. Alhamdulillah.

Azan maghrib pun sayup terdengar dari kejauhan, klakson mobir serta riuh macet menghantarkan kami pulang ke rumah. Cukup seru setelah was-was jalan bareng ketiga penumpang tak diundang.

Tanpa diduga tak lama dari kejadian itu, dua orang sahabat di kostku kehilangan handphone dengan modus dan cerita yang sama. Ahh aku merasa bersalah terlambat bercerita tentang ini kepada mereka. Setidaknya kalo mereka tau mereka kan pasti lebih berhati-hati saat menghadapi situasi yang sama. Oleh karena itu hari ini kisah ini aku bagi. Semoga bermanfaat dan hati-hati. he

Terima kasih pak copet, sekarang aku bisa lebih hati-hati saat kakiku melangkah ke luar rumah. Saat ini, aku pun sudah mulai membiasakan diri untuk selau berdoa ketika mulai bepergian. Aku juga bisa belajar tetap menikmati perjalanan walau kondisi segenting apapun. Tanpa sengaja kau lah yang mengajarkan itu semua. Trims ya pak #berbaiksangka. Tobat donk, bukankah pekerjaan kalian meresahkan masyarakat. Udahan lah yang halal masih banyak kok.


3 komentar:

  1. hoho..

    kadang-kadang perlu jg y utk su'udzon dg org yang belum kenal. yah untuk lebih berhati-hati saja. =D

    BalasHapus
  2. Baru tau ada modus ginian... Cara jaga-jaganya salahsatunya tampil sederhana aja..

    BalasHapus
  3. rainbow.... ha lebih tepatnya waspada,,he

    hoaaaaahhh,,he betul emang sederhana itu indah

    BalasHapus

Komentar di sini yah,